![]() |
Share Journal |
Siapa yang tak kenal KH A Wahid Hasyim. Hampir setiap orang tahu dan mengenalnya. Dia adalah putra pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy’ari. Perjalanan hidupnya singkat, karena Allah telah memanggilnya ketika usianya belum lagi genap 39 tahun. Meski di usianya yang relatif muda, ia telah menjadi figur penting dan memiliki pengaruh yang luar biasa di berbagai kalangan. Kiprahnya sungguh “mencengangkan”.
Menariknya, enam putra-putri mantan Menteri Agama di era Presiden Soekarno ini memiliki sifat, profesi, dan politik yang berbeda. Semua itu, tentu saja tak terlepas dari sikap sang ayah yang selalu menanamkan ruh demokrasi dalam lingkungan keluarga. Setiap perbedaan yang ada tidak pernah menjadi momok yang mematikan. Namun justru menghasilkan variasi yang unik dalam keluarga yang penuh warna ini.
“Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama”. Salah seorang pendiri negara Republik Indonesia ini meninggalkan lima putra-putri—yang ketika itu masih kecil-kecil—dan jabang bayi yang masih di dalam kandungan ibunya. Dia adalah Solichah Wahid Hasyim.
Putra-putri KH A Wahid Hasyim kemudian tumbuh dan berkembang menjadi tokoh dan panutan pada waktu, tempat, dan lingkungan yang berbeda-beda. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah salah satu mantan presiden RI yang ke-4. Sosoknya penuh kontrovesi. Aisyah Hamid Baidlowi menjadi politisi Partai Golkar, Salahuddin Wahid (Gus Solah) penjelajah lintas disiplin ilmu, Dr Umar Wahid seorang profesional murni, Lily Chodidjah Wahid pembangkang yang taat, serta Hasyim Wahid (Gus Im) dikenal sebagai pemberontak yang unik. Sedangkan dari generasi cucu, setidaknya telah muncul dua nama. Mereka adalah Yenny Wahid (putri Gus Dur) dan Ipang Wahid (putra Gus Solah).
Potret keluarga besar KH A Wahid Hasyim ini diuraikan secara gamblang dalam buku ini. “Sama Tapi Berbeda” karya Ali Yahya, alumnus Psikologi Universitas Indonesia ini mengupas lebih mendalam sisi-sisi lain keluarga besar KH A Wahid Hasyim mulai A sampai Z. Gaya bahasanya pun renyah, lugas dan mudah dicerna. Ahmad Syafi’i Ma’arif (mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah)—dalam pengantarnya—mengatakan, gaya penulisan buku ini adalah tuturan yang mengalir.
Meski demikian, Ali Yahya tidak larut dalam nuansa kekagumannya terhadap sang tokoh. Meski kekagumannya terhadap keluarga ini sungguh luar biasa, namun dirinya tetap berusaha obyektif dalam memotret keluarga besar KH A Wahid Hasyim yang cukup fenomenal, tidak hanya di kalangan NU, tetapi juga di lingkungan masyarakat umum di seluruh Indonesia.
KH A Wahid Hasyim dan ayahnya, KH Hasyim Asy’ari adalah dua tokoh bangsa yang sering jadi perbincangan berbagai kalangan dalam berbagai kepentingan, terutama untuk riset mengenai masalah-masalah ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an.
Dalam konteks ini, apa yang telah diwariskan KH A Wahid Hasyim adalah mencegah timbulnya penafsiran-penafsiran keagamaan yang dapat memicu radikalisme dan konflik kekerasan. Aspek pluralisme dan toleransi yang terbingkai dalam gagasan demokratisasi ini kiranya yang menjadi landasan perjuangan sang putra, KH Abdurrahman Wahid. Adanya berbagai macam golongan dan kelompok; besar dan kecil, berbeda suku, ras, agama, keyakinan, kelompok kepentingan serta pengelompokan dengan dasar lainnya, berhak untuk dipertimbangkan aspirasinya dalam mengambil keputusan politik.
Sikap inilah yang menjadi ciri khas Gus Dur. Implikasi dari komitmen terhadap asas pluralisme dan kesetaraan ini adalah penolakannya terhadap ide pembentukan negara Islam sebagai tujuan politik umat Islam di Indonesia. Menurutnya, Islam harus difungsikan sebagai pandangan hidup yang mengutamakan kesejahteran masyarakat, apa pun corak, ragam, dan bentuk masyarakat tersebut.
Tak ada yang membantah, memang, di antara putra-putri KH A Wahid Hasyim yang paling menonjol adalah Gus Dur. Sekitar dua dekade terakhir, dia adalah tokoh NU—bahkan Islam secara umum—yang paling banyak menyita perhatian berbagai kalangan. Ketokohannya pun banyak mendapat sorotan. Mulai pengamat nasional hingga internasional.
Ternyata popularitas generasi ini tak hanya diwakili Gus Dur seorang. Pelan namun pasti, sosok Salahuddin Wahid merangkak naik ke permukaan. Tokoh ini mulai mendapat perhatian publik sejak mendapat amanat menjadi salah seorang Ketua PBNU tahun 1999. Ia makin ‘naik daun’ ketika dipercaya sebagai anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sekaligus Wakil Ketua komisi ini. Dan puncaknya, pada pemilu 2004, ia tampil sebagai calon wakil presiden mendampingi Wiranto. Popularitasnya pun semakin berkibar. Jika sebelumnya orang lebih mengenalnya sebagai adik Gus Dur, kini ia menjadi Gus Solah sebagai pribadi, lepas dari bayang-bayang siapa pun, termasuk sang kakak.
Di luar itu, kita juga mengenal Aisyah Hamid Baidlowi sebagai anak KH A Wahid Hasyim yang aktif di percaturan politik nasional. Hingga kini, ia telah tiga periode menjadi anggota DPR. Uniknya, ia lebih suka bernaung di bawah “pohon beringin” ketimbang masuk ke “kandang-kandang sendiri”. Bagi sebagian orang, fakta ini cukup mengherankan. Tetapi, bagi mereka yang mengenal serta cukup tahu bagaimana kemandirian dan demokratisasi yang sejak lama terbangun di lingkungan keluarga, kenyataan ini tidaklah mengejutkan.
Di samping ketiganya, putra-putri KH A Wahid Hasyim yang lain pun cukup dikenal di komunitasnya masing-masing dengan aktifitas dan independensinya sendiri-sendiri. Umar Wahid misalnya, dia adalah dokter spesialis paru yang sempat dikenal publik ketika menjadi Ketua Tim Dokter Kepresidenan di era Gus Dur. Selain itu, dia juga menjadi anggota DPR RI. Dua saudara yang lain, Lily Chodidjah Wahid dan Hasyim Wahid, meski belum teralu dikenal, namun namanya tidak asing lagi di kalangan-kalangan tertentu.
Mengamati peri kehidupan anak-anak dan cucu-cucu KH A Wahid Hasyim dalam buku ini, sungguh akan kita dapatkan keunikan tersendiri. Setidaknya terlihat sejauh mana kesamaan dan perbedaan di antara mereka masing-masing. Dari sini juga kita dapat mengamati betapa peran orangtua sangat menentukan arah perjalanan sang anak. Dalam hal ini adalah penanaman nuansa demokratis sejak dalam keluarga.
Dalam banyak hal, anggota keluarga KH A Wahid Hasyim memang memiliki kesamaan satu sama lain. Tetapi perbedaan di antara mereka—baik antar maupun inter generasi—pun ternyata tidak sedikit. Hal inilah yang mungkin belum banyak diketahui orang. Semua itu membentuk ritme irama tersendiri dalam keluarga. Mereka memang sama tapi berbeda.
Meninggalnya KH Salahuddin Wahid atau Gus Solah menyisakan duka mendalam bagi umat Islam Indonesia. Kita kehilangan sosok ulama moderat yang dapat dijadikan panutan di tengah situasi zaman penuh kontroversi dan fenomena saling menyalahkan. Gus Solah mengembangkan Islam moderat di Indonesia. Tidak pernah mengeluarkan statemen yang kontroversial, Gus Solah mampu merangkul semua kelompok dan berdiri di tengah-tengah. Menurut Prof Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Gus Solah adalah sosok ulama moderat yang peduli HAM.
Menarik menengok kembali potret keluarga di mana Gus Solah lahir dan tumbuh. Dr (HC) Ir H Salahuddin Wahid lahir di Jombang, 11 September 1942, dan merupakan adik kandung mantan presiden Indonesia keempat, KH Abdurrahman Wahid. Ayahnya adalah KH Wahid Hasyim. Siapa tidak kenal KH Wahid Hasyim? Hampir setiap orang tahu dan mengenalnya. Dia adalah putra pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy’ari. Perjalanan hidup KH Wahid Hasyim cukup singkat, karena Allah telah memanggil ke hadirat-Nya ketika dia berusia belum genap 39 tahun.
Meski di usianya yang relatif muda, dia telah menjadi figur penting dan memiliki pengaruh yang luar biasa di berbagai kalangan. Kiprahnya sungguh menggembirakan. Menariknya, enam putra-putri mantan Menteri Agama di era Presiden Soekarno itu memiliki sifat, profesi, dan politik yang berbeda. Semua itu, tentu saja tidak terlepas dari sikap sang ayah yang selalu menanamkan ruh demokrasi dalam lingkungan keluarga. Setiap perbedaan yang ada tidak pernah menjadi momok yang ditakutkan. Sebaliknya, justru diramu menghasilkan variasi unik dan penuh warna.
Meninggalnya KH Salahuddin Wahid atau Gus Solah menyisakan duka mendalam bagi umat Islam Indonesia. Kita kehilangan sosok ulama moderat yang dapat dijadikan panutan di tengah situasi zaman penuh kontroversi dan fenomena saling menyalahkan. Gus Solah mengembangkan Islam moderat di Indonesia. Tidak pernah mengeluarkan statemen yang kontroversial, Gus Solah mampu merangkul semua kelompok dan berdiri di tengah-tengah. Menurut Prof Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Gus Solah adalah sosok ulama moderat yang peduli HAM.
Menarik menengok kembali potret keluarga di mana Gus Solah lahir dan tumbuh. Dr (HC) Ir H Salahuddin Wahid lahir di Jombang, 11 September 1942, dan merupakan adik kandung mantan presiden Indonesia keempat, KH Abdurrahman Wahid. Ayahnya adalah KH Wahid Hasyim. Siapa tidak kenal KH Wahid Hasyim? Hampir setiap orang tahu dan mengenalnya. Dia adalah putra pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy’ari. Perjalanan hidup KH Wahid Hasyim cukup singkat, karena Allah telah memanggil ke hadirat-Nya ketika dia berusia belum genap 39 tahun.
Meski di usianya yang relatif muda, dia telah menjadi figur penting dan memiliki pengaruh yang luar biasa di berbagai kalangan. Kiprahnya sungguh menggembirakan. Menariknya, enam putra-putri mantan Menteri Agama di era Presiden Soekarno itu memiliki sifat, profesi, dan politik yang berbeda. Semua itu, tentu saja tidak terlepas dari sikap sang ayah yang selalu menanamkan ruh demokrasi dalam lingkungan keluarga. Setiap perbedaan yang ada tidak pernah menjadi momok yang ditakutkan. Sebaliknya, justru diramu menghasilkan variasi unik dan penuh warna.
masukkan script iklan disini
Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama. KH Wahid Hasyim, salah satu pendiri negara Republik Indonesia ini meninggalkan lima putra-putri—ketika itu masih kecil-kecil—dan jabang bayi di dalam kandungan. Dialah Solichah Wahid Hasyim. Putra-putri KH Wahid Hasyim kemudian tumbuh dan berkembang menjadi tokoh dan panutan pada waktu, tempat, dan lingkungan yang berbeda. Pemaparan lengkap potret keluarga ini dapat disimak dalam buku Sama Tapi Berbeda karya Ali Yahya, dan diberi pengantar Buya Syafi’i Ma’arif.
KH Abdurrahman Wahid tidak lain adalah Presiden RI dari 1999 hingga 2001. Sosok satu ini penuh humor sekaligus kontrovesi. Aisyah Hamid Baidlowi menjadi politisi Partai Golkar. KH Salahuddin Wahid penjelajah lintas disiplin ilmu. Umar Wahid seorang profesional murni. Lily Chodidjah Wahid pembangkang yang taat. Hasyim Wahid dikenal pemberontak yang unik. Sedangkan dari generasi cucu, telah muncul dua nama. Mereka adalah Yenny Wahid (putri Gus Dur) dan Ipang Wahid (putra Gus Solah). Potret keluarga KH Wahid Hasyim memang menarik.
Keluarga KH Wahid Hasyim itu dikenal tidak hanya di kalangan NU, tetapi juga di lingkungan masyarakat umum di seluruh Indonesia. Bahkan, KH Wahid Hasyim dan ayahnya, KH Hasyim Asy’ari adalah dua tokoh bangsa yang sering menjadi perbincangan berbagai kalangan dalam berbagai kepentingan, terutama untuk penelitian mengenai masalah-masalah keislaman dan keindonesiaan. Dalam konteks ini, apa yang diwariskan KH Wahid Hasyim adalah mencegah timbulnya penafsiran-penafsiran keagamaan yang memicu radikalisme dan konflik kekerasan.
Aspek pluralisme dan toleransi yang terbingkai dalam gagasan demokratisasi itulah kiranya yang menjadi landasan perjuangan sang putra, KH Abdurrahman Wahid. Adanya aneka macam golongan dan kelompok; besar maupun kecil, berbeda suku, ras, agama, keyakinan, kelompok kepentingan serta pengelompokan dengan dasar lainnya, dalam pandangan Gus Dur, berhak untuk dipertimbangkan aspirasinya dalam mengambil keputusan politik. Sikap demikian menjadi ciri khas Gus Dur dan sudah dikenal secara luas di kalangan lapisan masyarakat Indonesia.
Implikasi dari komitmen terhadap asas pluralisme dan kesetaraan itu, misalnya, penolakan Gus Dur terhadap ide pembentukan negara Islam sebagai tujuan politik umat Islam di Indonesia. Menurut Gus Dur, Islam harus difungsikan sebagai pandangan hidup yang mengutamakan kesejahteran masyarakat, apa pun corak, ragam, dan bentuk masyarakat tersebut. Tak ada yang membantah, memang, di antara putra-putri KH Wahid Hasyim yang paling menonjol adalah Gus Dur. Dia adalah tokoh NU—bahkan Islam secara umum—yang paling banyak menyita perhatian berbagai kalangan. Ketokohannya banyak mendapat sorotan, dari nasional hingga internasional.
Ternyata popularitas generasi ini tidak hanya diwakili Gus Dur seorang. Pelan namun pasti, Gus Solah pun setali tiga uang. Dia mulai mencuri perhatian publik sejak mendapat amanat menjadi salah seorang Ketua PBNU tahun 1999. Gus Solah semakin naik daun ketika dipercaya sebagai anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sekaligus Wakil Ketua komisi ini. Puncaknya adalah pada pemilu 2004. Gus Solah maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Wiranto. Popularitasnya semakin berkibar. Jika sebelumnya orang lebih mengenal dia sebagai adik Gus Dur, sejak saat itu dia menjadi Gus Solah sebagai pribadi, lepas dari bayang-bayang siapa pun.
Di luar itu, kita juga mengenal Aisyah Hamid Baidlowi sebagai anak KH Wahid Hasyim yang aktif di percaturan politik nasional. Dia beberapa periode menjadi anggota DPR. Uniknya, dia lebih suka bernaung di bawah “pohon beringin” ketimbang masuk ke “kandang sendiri”. Bagi sebagian orang, fakta ini cukup mengherankan. Tetapi, bagi yang mengenal serta cukup tahu bagaimana kemandirian dan demokratisasi yang sejak lama terbangun di lingkungan keluarga, kenyataan ini tidak mengejutkan. Demokrasi telah lama hidup di keluarga KH Wahid Hasyim.
Di samping ketiganya, putra-putri KH Wahid Hasyim lain juga cukup dikenal di komunitas mereka masing-masing dengan aktivitas dan independensi sendiri-sendiri. Umar Wahid misalnya, dia adalah dokter spesialis paru yang sempat dikenal publik ketika menjadi Ketua Tim Dokter Kepresidenan di era Gus Dur. Selain itu, dia juga menjadi anggota DPR RI. Dua saudara yang lain, Lily Chodidjah Wahid dan Hasyim Wahid, meski tidak seterkenal kakak-kakaknya, namun nama mereka tidak asing lagi di kalangan-kalangan tertentu yang aktif satu komunitas.
Mengamati peri kehidupan anak-anak dan cucu-cucu KH Wahid Hasyim sungguh kita dapatkan keunikan tersendiri. Setidaknya, terlihat sejauh mana kesamaan dan perbedaan di antara mereka masing-masing. Kita juga dapat mengamati betapa peran orangtua sangat menentukan arah perjalanan anak. Dalam hal ini, penanaman nuansa demokratis sejak dalam keluarga. Dalam banyak hal, anggota keluarga KH Wahid Hasyim memang memiliki kesamaan satu sama lain. Tetapi perbedaan di antara mereka—baik antar maupun inter generasi—ternyata tidak sedikit.
Hal itulah yang mungkin belum banyak diketahui orang. Perbedaan bagaimana dan di mana saja, termasuk dalam lingkup keluarga, sesungguhnya tidak selalu harus dihindari dan dipandang sebagai negatif. Ketika mampu dikelola secara bijak dan diajarkan sebagai sebuah khazanah pemahaman, segala bentuk perbedaan akan membentuk ritme irama tersendiri dalam keluarga. Kehidupan keluarga menjadi tidak monoton tetapi indah, sebab sesama anggotanya ada warna-warni yang tidak pasti sama dan serupa. Seperti potret keluarga KH Wahid Hasyim, tempat dari mana Gus Solah berasal tadi, mereka semua memang sama tetapi berbeda. Indah, bukan?
KH Abdurrahman Wahid tidak lain adalah Presiden RI dari 1999 hingga 2001. Sosok satu ini penuh humor sekaligus kontrovesi. Aisyah Hamid Baidlowi menjadi politisi Partai Golkar. KH Salahuddin Wahid penjelajah lintas disiplin ilmu. Umar Wahid seorang profesional murni. Lily Chodidjah Wahid pembangkang yang taat. Hasyim Wahid dikenal pemberontak yang unik. Sedangkan dari generasi cucu, telah muncul dua nama. Mereka adalah Yenny Wahid (putri Gus Dur) dan Ipang Wahid (putra Gus Solah). Potret keluarga KH Wahid Hasyim memang menarik.
Keluarga KH Wahid Hasyim itu dikenal tidak hanya di kalangan NU, tetapi juga di lingkungan masyarakat umum di seluruh Indonesia. Bahkan, KH Wahid Hasyim dan ayahnya, KH Hasyim Asy’ari adalah dua tokoh bangsa yang sering menjadi perbincangan berbagai kalangan dalam berbagai kepentingan, terutama untuk penelitian mengenai masalah-masalah keislaman dan keindonesiaan. Dalam konteks ini, apa yang diwariskan KH Wahid Hasyim adalah mencegah timbulnya penafsiran-penafsiran keagamaan yang memicu radikalisme dan konflik kekerasan.
Aspek pluralisme dan toleransi yang terbingkai dalam gagasan demokratisasi itulah kiranya yang menjadi landasan perjuangan sang putra, KH Abdurrahman Wahid. Adanya aneka macam golongan dan kelompok; besar maupun kecil, berbeda suku, ras, agama, keyakinan, kelompok kepentingan serta pengelompokan dengan dasar lainnya, dalam pandangan Gus Dur, berhak untuk dipertimbangkan aspirasinya dalam mengambil keputusan politik. Sikap demikian menjadi ciri khas Gus Dur dan sudah dikenal secara luas di kalangan lapisan masyarakat Indonesia.
Implikasi dari komitmen terhadap asas pluralisme dan kesetaraan itu, misalnya, penolakan Gus Dur terhadap ide pembentukan negara Islam sebagai tujuan politik umat Islam di Indonesia. Menurut Gus Dur, Islam harus difungsikan sebagai pandangan hidup yang mengutamakan kesejahteran masyarakat, apa pun corak, ragam, dan bentuk masyarakat tersebut. Tak ada yang membantah, memang, di antara putra-putri KH Wahid Hasyim yang paling menonjol adalah Gus Dur. Dia adalah tokoh NU—bahkan Islam secara umum—yang paling banyak menyita perhatian berbagai kalangan. Ketokohannya banyak mendapat sorotan, dari nasional hingga internasional.
Ternyata popularitas generasi ini tidak hanya diwakili Gus Dur seorang. Pelan namun pasti, Gus Solah pun setali tiga uang. Dia mulai mencuri perhatian publik sejak mendapat amanat menjadi salah seorang Ketua PBNU tahun 1999. Gus Solah semakin naik daun ketika dipercaya sebagai anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sekaligus Wakil Ketua komisi ini. Puncaknya adalah pada pemilu 2004. Gus Solah maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Wiranto. Popularitasnya semakin berkibar. Jika sebelumnya orang lebih mengenal dia sebagai adik Gus Dur, sejak saat itu dia menjadi Gus Solah sebagai pribadi, lepas dari bayang-bayang siapa pun.
Di luar itu, kita juga mengenal Aisyah Hamid Baidlowi sebagai anak KH Wahid Hasyim yang aktif di percaturan politik nasional. Dia beberapa periode menjadi anggota DPR. Uniknya, dia lebih suka bernaung di bawah “pohon beringin” ketimbang masuk ke “kandang sendiri”. Bagi sebagian orang, fakta ini cukup mengherankan. Tetapi, bagi yang mengenal serta cukup tahu bagaimana kemandirian dan demokratisasi yang sejak lama terbangun di lingkungan keluarga, kenyataan ini tidak mengejutkan. Demokrasi telah lama hidup di keluarga KH Wahid Hasyim.
Di samping ketiganya, putra-putri KH Wahid Hasyim lain juga cukup dikenal di komunitas mereka masing-masing dengan aktivitas dan independensi sendiri-sendiri. Umar Wahid misalnya, dia adalah dokter spesialis paru yang sempat dikenal publik ketika menjadi Ketua Tim Dokter Kepresidenan di era Gus Dur. Selain itu, dia juga menjadi anggota DPR RI. Dua saudara yang lain, Lily Chodidjah Wahid dan Hasyim Wahid, meski tidak seterkenal kakak-kakaknya, namun nama mereka tidak asing lagi di kalangan-kalangan tertentu yang aktif satu komunitas.
Mengamati peri kehidupan anak-anak dan cucu-cucu KH Wahid Hasyim sungguh kita dapatkan keunikan tersendiri. Setidaknya, terlihat sejauh mana kesamaan dan perbedaan di antara mereka masing-masing. Kita juga dapat mengamati betapa peran orangtua sangat menentukan arah perjalanan anak. Dalam hal ini, penanaman nuansa demokratis sejak dalam keluarga. Dalam banyak hal, anggota keluarga KH Wahid Hasyim memang memiliki kesamaan satu sama lain. Tetapi perbedaan di antara mereka—baik antar maupun inter generasi—ternyata tidak sedikit.
Hal itulah yang mungkin belum banyak diketahui orang. Perbedaan bagaimana dan di mana saja, termasuk dalam lingkup keluarga, sesungguhnya tidak selalu harus dihindari dan dipandang sebagai negatif. Ketika mampu dikelola secara bijak dan diajarkan sebagai sebuah khazanah pemahaman, segala bentuk perbedaan akan membentuk ritme irama tersendiri dalam keluarga. Kehidupan keluarga menjadi tidak monoton tetapi indah, sebab sesama anggotanya ada warna-warni yang tidak pasti sama dan serupa. Seperti potret keluarga KH Wahid Hasyim, tempat dari mana Gus Solah berasal tadi, mereka semua memang sama tetapi berbeda. Indah, bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar